6.14.2009

23 Mei 2008

SESAAT SEBELUM KAU PANGGIL NAMAKU

Oleh : Agung Hening

Jam di dinding telah menunjukkan pukul sembilan lebih enam menit. Jarum jam yang berputar tak lagi terdengar di malam ini. Tak seperti beberapa malam yang lalu. Malam ketika kekasihku yang kulihat tertidur lelah di samping ranjangku. Beberapa waktu dari kesadaranku sesekali melihat beberapa suster datang memeriksa selang infus di tanganku. Dan kemudian kembali hening. Hanya putaran jarum jam. Suara beberapa penunggu pasien yang belum tidur di luar bangsal.

Tapi tidak kali ini. Ada yang lain. Saat tiba-tiba dari ujung kakiku merasakan hawa dingin menyejukkan perlahan merayap pelan. Dingin yang damai. Yang kudengar suara pendeteksi detak jantung yang perlahan melambat panjang. Aku melihat bagaimana kekasihku berteriak kebingungan memanggil dokter dan perawat. Samara ibuku datang berlari manghamburi tubuhku sambil menangis. Tubuhku bergoyang namun tak ada rasa. Sejurus kemudian masih sempat kulihat beberapa orang berbaju putih datang, lalu semua gelap bagiku. Lamat-lamat kudengar kekasihku yang terisak menangis. Dokter dan beberapa perawat yang sibuk dengan beberapa alatnya mencoba menormalkan kembali suara pendeteksi jantung di samping kanan atas ranjangku. Perlahan-lahan suara suara itu makin hilang dan semua menjadi dingin. Nyenyat melebihi gua yang dalam.

@@@@

Aku terkesima penuh takjub saat kulihat seluruhnya berwarna putih bersih. Lembut dan begitu terang tapi menyejukkan. Aku merasa seluruh duniaku berputar. Perlahan menarik tanganku untuk segera terangkat mengacung ke atas bergelut dengan gumpalan kapas-kapas putih yang beterbangan. Dari atas ujung kanan tampak tiang besar berwarna putih kebiruan menyembul samar di antara asap putih yang berjalan dengan cepatnya. Aku meyakinkan diriku bahwa yang kusaksikan itu adalah istana. karena dilihat dari bangunannya yang besar dan megah pasti bukan rumah. Mungkinkah sebuah kastil besar yang mewah.

Apapun itu aku belum pernah menyaksikan, setidaknya sebelum segala sesuatu itu menjadi gelap tanpa warna. Seperti beberapa jam sebelum aku dituntun oleh tangan halus dan lembut. Tangan yang tak aku ketahui siapa atau apa. Bagaimana aku sebut pada dunia yang baru kusaksikan ini? Dalam beberapa imajinasiku yang pernah dibawa oleh kakek dan ibuku. Dalam pengantar tidur kecilku pun tak pernah terbayangkan dunia macam ini. Segalanya begitu lembut bagiku.

Sepi yang tak terasa kesepian. Terang yang tak menyilaukan. Sejuk yang tak membekukan dan apa lagi. Perbendaharaan kata-kata apa lagi yang kupunya tuk sebutkan. Telah habis tak berbahasa rupanya. Perlahan kakiku pelan melangkah. Tanpa bimbingan otak dan kesadaranku, kaki melangkah mengarah pada tangga yang menjulang panjang ke atas di depanku. Tangga itu tampak tembus pandang menerawang awan putih yang bergerombol dan enggan berpisah satu sama lain. Tak lama kudengar tawa merdu di seberang kolam air yang berwarna hijau.

Aih! rupanya berduyun bidadari menari terbang ke angkasa dengan canda dan isengnya mereka menarik rambut-rambut yang terurai hitam dan keemasan. Elok dan rupawan pula wajah mereka. Itukah wajah tanpa dosa dan tanpa keinginan yang penuh beban?

Segera saja mata yang tak lagi dapat diperintah ini mengikuti. Bergerak menuntun tangan untuk mengembang. Mengikuti sumber kecantikan tak berbanding itu. Dan semu terasa ringan menghembus wajah kering yang menerapkan kesejukan terdalam. Mengoyak hati. Membahanakan kegembiraan.

Yah inilah dunia tanpa kata-kata itu. Terhadir dari luka dan gelap tak berpenghujung. Seperti yang lalu. Benarkah ini bagian dari waktu dan tempat. Di mana antara malam dan pagi. Tempat yang tak pernah termaktub dalam tafsiran para agamawan, yang begitu arogan mengartikulasikan kebenaran Tuhan. Setidaknya mengatasnamakan Tuhan. Dan ini tak seperti Benar-benar diluar dari apa yang telah diwartakan kepadaku, dari ceramah dan khotbah-khotbah yang keras kepala itu. Benarkah anugerah seindah ini?

Kini aku dapat melihat lagi. Aku menyaksikan apa yang tak dapat di bayangkan oleh segala manusia yang bermata. Ataukah setiap orang juga pernah merasakan apa yang kualami ini. Kemudian mereka diam. Merahasiakan ini semua. Entahlah, tapi mana mungkin mereka tidak bercerita dengan hebatnya. Memendam perasaan untuk tidak diumbar dan dipamerkan. Sedang beberapa orang saja sudah dengan bangga menjadi nabi atau memproklamirkan sebagai juru selamat, ketika di perlihatkan sebagian dari sekian banyak rahasia. Karena Tuhan menganggap tidak akan mampu atas keangkuhannya. Sejarah telah membuktikan ketika tak ada seujung kuku kenikmatan pun dilimpahkan untuk manusia. Karena menjadi Tuhan baru adalah hasrat manusia yang disembunyikan dengan halus.

Ah sudahlah! kiranya bukan saatnya untuk aku berfikir. Saat ini aku sedang dibawa untuk menikmati bukan memahami yang menyakitkan. Membingungkan dan menyesatkan. Dunia yang tak kunjung malam yang gelap dan sepi. Dunia yang tak pernah siang yang panas menyengat. Dunia yang tak pernah sore yang menyeramkan.

00000

Namaku Banyu Heksa. Aku lahir pada saat bumi telah kering tak berair. Namaku Banyu karena aku harapan untuk menjadi perangsang para malaikat agar segera menurunkan hujan di kemarau yang tak dapat diramal lagi oleh paranormal maupun ahli geologi.

Kata Kakekku yang memberi nama. Aku dikaruniai dengan mata yang indah bibir yang ranum. Bulu mata yang tegak menantang. Rambut yang hitam berkilau. Kulit yang putih. Tubuh yang sedang dan terpampang bidang. Tangan yang lembut. Jari yang lentik dan masih banyak lagi yang telah kelak menelanku dalam kesombongan. Walau sebenarnya itu tak lagi berguna, karena ketika pertama kali membuka mata, bumi sedang malam dan terus malam. Sampai beberapa dari umurku yang menginjak tahun yang keempat.

Aku lahir sebagai anak manusia yang selalu rindu akan pagi. Setiap hari yang mengiringi pertumbuhanku dan pengetahuanku. Tapi satu hal yang tak kuketahui, yaitu pagi. Bahkan dalam dongeng yang dituturkan dan tak pernah di hantarkan dalam imajinasi pagi. Kakakku berkata, “ Itu semua telah menjadi masa lalu manusia yang dikubur dalam-dalam dan tak akan dibongkar lagi”. Tapi dengan kekerasan jiwa mudaku, “ Aku bercita-cita membawakan pagi untuk hadiah ulang tahun ibuku yang bertepatan dengan gerhana matahari”.

Ibuku di kenal sebagai putri bumi. Kecantikannya menjelajah ke seluruh pegunungan dan lautan. Dari hasil rajutan tangannya lah aku besar. dengan kehangatan cinta dan buah manja yang tak didapatkan bagi seseorang yang dilahirkan tanpa mentari pagi dan embun yang menetes dari daun kala dihampiri hangatnya sang bayu.

Baju-baju hangat yang lembut dan indah. Inilah hasil sulaman sepanjang hari ketika beliau enggan memejamkan mata sedetik pun.. Untuk mengusir nyamuk yang akan menghisap darahku melalui kulit putih ini. Itu cerita ibu pada suatu malam ketika aku minta izin untuk mengembara. Tak pernah kudengar hardik dan kata kasar keluar dari lembut dan merah bibir ibuku.

Ayahku seorang laki-laki keturunan pangeran langit. Berwajah biru dan rambut putih. Beliau mengilhami beberapa puisiku. Sajak yang kudendangkan kala aku berusaha mengusir kesedihan dan kesepianku. Badannya yang kekar dan rahangnya yang kokoh, menjadikan beberapa raksasa gemetar bila mendengar namanya. Karena itu pula setan pun enggan menggodaku, untuk merayu memakan buah terlarang. Tapi dia memiliki hati yang lembut dan pikiran yang jernih.

Pernah suatu kali aku bercerita pada kakekku, “ Bila kelak aku dewasa aku ingin seperti ayahku”. Tapi kata kakekku aku tidaklah ditakdirkan untuk itu. Dan tak usah aku menjadi seperti beliau. Karena itu berbahaya buatku, katanya. Entah apa maksudnya. Aku hanya bertemu ayah kala tengah hari saja. Malam hingga pagi beliau harus menjalankan tugas yang aku tak pernah diberitahukan. Tapi bagiku sudah cukup. Segala pertemuan sedetik, dua detik yang aku jadikan ritual harianku kala matahari tegak tepat diatas kepala.

Masa kecilku dimana tak sekalipun aku menginjakkan kakiku untuk menjamah gurun. Tempat yang sering diceritakan oleh peri-peri yang datang berseliweran ditengah tidurku. Semua menjadikan kumpulan kumparan keingintahuanku yang liar. Kadang semua terselesaikan begitu ibuku merebuskan air dari berbagai ragam puspa warna. Bunga yang dipetik dari taman gunung selatan. Padahal aku sendiri tak begitu mengenal berbagai warna itu. Karena semua warna tertutup malam. Apa gunanya warna pada malam, selorohku.

Pernah sekali aku memprotes bahwa yang kita butuhkan itu cahaya dan mentari di malam hari. Aku benar-benar sudah bosan dengan malam tanpa bulan dan bintang. Bulan bagiku adalah cerita pengecut yang melarikan diri. Telah lelah menyinari kegelapan yang tak kunjung punya harapan untuk segera pagi. Di tanah kelahiranku semua orang telah melupakan suara kokok ayam jago dan kicauan burung. Karena mereka telah mati bunuh diri. Merasa tak lagi ada gunan hidup, karena tak punya peran seperti yang Tuhan titahkan pada mereka. Bagaimana mau berkokok dan berkicau bila tak ada pagi. Aku ikut membenarkan tindakan mereka.

Ketika umurku empat tahun lebih tujuh bulan. Aku mengalami kegelapan abadi. Terakhir yang dapat kusaksikan hanya di mana ibuku meneteskan air matanya di depanku dengan sembab. Mengelus urut rambutku yang telah berubah gimbal. Aku tak lagi dapat menyaksikan semua. Indera pembelajaranku berupa mata telah ditumbalkan sebagai sesaji. Konskwensi dari putera keturunan bumi dan langit. Akhirnya hari-hariku habis hanya untuk merutuk dan mengomel. Kesurupan tak karauan. Tak ada yang berani menjawab semua tanyaku yang tak ada habisnya. Dari segala kesialan akan nasibku. Hanya sayup-sayup kudengar ketika ibuku menangis terisak di ujung kamar.

Tak lagi bisa kumengamati keriput kulit kakekku menjelang usia senja. Dan tak lagi bisa kutelanjangi kulit lembut ibuku. Duniaku telah gelap. Siang dan malam tak pernah sekali aku tidur. Semua kata dan perbendaharaanya telah kulalap untuk dimuntahkan dalam rajam kutukan pada siapa dan apa saja.

Tak ada lagi lapangan masa depan. Pikiran yang begitu dangkal akan hikmah. Pernah beberapa kali aku mencoba bunuh diri. Tapi seluruh alam berteriak menjegalku. Memotong tali yang kupakai. Bahkan pepohonan enggan menjadi tiang gantungan untukku. Bumi pun selalu menyangga tiap aku terjunkan tubuhku dari atas jurang bersamaan dengan tebing yang segera memendek. Benarlah bila bidadari itu berkata, aku telah buta mata, buta pikiran dan buta hati.

Akhirnya hanya lelah yang membisukan segala sumpah serapahku. Kini semua kembali kelu. Tak ada arti. Tak ada apa-apa dan tak bermakna bagi kegelapan jiwa.

00000

Diantara serpihan kenangan aku mencoba menyambung dengan rasa dan cinta. Ada harap, ada asa, ada cerita. Semua adalah jalan penuntun menuju keheningan. Proses menuju ke altar pemujaan di antara ritual yang menerbangkan keangkuhan dan kesombongan. Semua kekuatan sebenarnya tak ada apa-apa di antara waktu yang terbatas dan segala kehendak Tuhan yang Maha Kuasa.

Pada azab ada rahmat. Pada derita ada cinta. Pada sedih ada kasih dan pada luka ada bahagia. Asa adalah hari ini, bukan esok yang tak pasti, karena yang memotivasi adalah rencana kita sebagai manusia yang tumbuh. Diantara perkara yang terus datang tanpa henti, menuntut akal yang dibekali berfikir kreatif dan kuat. Untuk kemudian mengukur dengan hati. Segala masalah tak akan dapat terselesaikan, hanya akan terus berganti. Sesuai tingkatan kekuatan yang telah kita lalui bagi jiwa yang kuat.

Saat kita hanya bisa terhenti oleh kata-kata yang tak sanggup tersingkap tabir makna. Toh segala yang terlihat hanya merupakan pakaian dari kejujuran dan kemaluan yang memang harus ditutupi. Untuk memoles segala bopeng kita sebagai makhluk yang penuh dengan kelemahan. Pada kesadaran peran inilah sebenarnya eksistensi kita sebagai manusia. Bukan pada seberapa besar manusia mencoba mengartikulasikan dengan bahas verbalnya segala kebenaran. Sejarah adalah pembuktian fakta bukan pembuktian kebenaran.

Tak pelak kini aku harus berdiri berlari setelah ribuan mil. Kadang keras jatuh terjungkal. Tak ada kata beranjak merambat. Karena putaran jarum terus berputar dengan tajam siap memenggal yang tak segera sadar dan bangun dari kesadaran yang dibuai angan akan keabadian dan kesempurnaan. Semua itu adalah saat manusia sadar akan keterbatasan dan kelemahan itu sendiri.

Kenikmatan yang dinilaikan ini, sebenarnya tak dapat menjamah pada sebuah kelanggengan. Kenikmatan ada pada penikmatan kita atas segala yang terjadi dari sedih dan bahagia. Sengsara dan nikmat. Bahkan kadang sakit itu indah dan sehat itu sengsara itu sendiri.

00000

Tiba pada masa yang tak dapat terhindar. Di suatu yang tak kutahu siang malam, pagi ataukah malam. Ada suara yang bangunkanku dari sujud panjang ini. Sebelum pikiranku terselesaikan oleh heran, sebuah sentuhan menggiringku ke dalam kereta yang sudah tersedia di muka. Entah keajaiban apa. Atau hanya mimpi belaka. Tiba-tiba aku bisa melihat semua dengan jelas. Jalan berwarna yang kuketahui itu bernama pelangi. Di depan terpampang jelas kereta kuda tak berkusir. Terbuka pintunya lebar. Dari dalam terdengar suara mempersilahkan untuk memasuki dan menungganginya. Suara yang merdu dan lembut penuh kasih.

Aku bertanya, “ Kemana akan dibawa pergi?”. Suara itu menjawab, “ ke sebuah dunia yang tak bisa kau kata”, katanya. Aku meminta waktu untuk berpamit kepada kekasihku, karena belum selesai aku menyatakan segala rasa cinta dan kerinduanku. “ Tak perlu! ” Jawabnya dengan tegas dan berat. Tapi aku mencoba beralasan, bahwa kekasihku itulah yang telah membawa pada penerimaan pada keterbatasan dan kekurangan yang aku miliki. Hingga kekurangan ini menjadi berkat dan rahmat yang aku pahami. Akhirnya aku hanya diizinkan untuk melihat saja. Kemudian dibawanya aku terbang melesat menembus awan. Terakhir kulihat kekasihku yang sedang merangkai kata di atas rerumputan dan dikelilingi bunga. “ Oh, wanitaku! ”, teriakku. “ Andai aku diberi ijin menjamahmu ”. Kucoba bersuara dan berteriak memanggil, rupanya tak sampai pada empunya.

Cukuplah kiranya aku hanya bisa menatapmu sebelum segalanya terpisah. Pada perpisahan ada kebahagian dari regukan kerinduan. Yang terus menarikan kelembutan dan melunturkan kekerasan hati bila menyadari. Saat semua terselesaikan, kuda menepak langit dan terbang. Aku hanya mendengar namaku kau sebut dengan lembut, tapi bagiku itu cukup. Semenjak kau datang, tak pernah kulihat parasmu. Aku hanya bisa merasai harum dan suaramu yang dapat kugetarkan melalui imajinasiku yang cekak. Tak bisa kubahasakan kelembutan dan segala perhatianmu ketika kau pungut aku dari jalanan yang kotor dan bau kala itu.

Terima kasih bila masih sudi menyebut namaku yang lama sudah kukubur. Barulah kali ini kau sebut namaku. Dan itu mesra sekali. Cukup dan cukup.

00000

Musim semi bulan baru. Malam akan segera berakhir. Esok aku kan segera menemui pagi. Selamat datang pagi yang kurindu. Dan bersiap-siaplah ayam jantan dan burung untuk berkokok dan berkicau. Ah!! bagaimana ya embun itu akan berbaur dengan langit. Selamat datang angin pagi. Biarkan mataku silau oleh pantulan sinar matahari dari embun yang menetes jatuh. Bila tak salah perhitungan, besok hari selasa legi, bulan januari.

Semarang, 25 Mei 2008

Tidak ada komentar: