6.14.2009

DI AWAL MEI
Oleh : Agung Hening

Daun-daun yang kering ditiup angin di bulan Mei, yang mana sesuai dengan ramalan B.M.G harus sudah masuk kepada musim kemarau, kini cuaca tersebut tak kunjung dapat diprediksikan.
Semalam terjadi hujan deras yang membawa angin puyuh hebat yang meruntuhkan dan memporakporandakan beberapa bangunan di kota. Dinyatakan korban meninggal lima orang laki-laki dan tiga orang perempuan beserta satu anak kecil berumur lima tahun yang berada dalam dekapan ibunya, begitu berita pagi melaporkan bencana yang baru saja terjadi malam tadi.
Dari mulut para penduduk sekitar yang beranting pindah. Menceritakan bahwa bencana tersebut terjadi karena ulah seorang pemuda yang berteriak menantang hujan dan petir di tengah malam. Sudah beberapa orang memperingatkan dan menegurnya untuk segera masuk ke dalam berteduh. Karena dirasa janggal dan aneh, apalagi mengganggu ketenangan mereka bercengkrama dalam selimut. Tapi semua teriakan itu seperti ditelan derasnya hujan di telinga pemuda itu. Tetap saja dia mengacungkan kepal tangannya. Dengan mengucapkan sumpah serapah yang tak jelas dicerna telinga. Sambil sesekali dia menangis tersedu-sedu. Namun setelah beberapa saat teriakan pemuda itu menghilang, tiba-tiba langit bergemuruh kencang disertai angin yang tak menentu dari mana datangnya berputar berarak menelanjangi bangunan yang tak kokoh. Teriakkan dan tabuh tittir berbunyi dimana-mana.

@@@
Surat dengan amplop coklat itu masih saja tergeletak kucal di samping tempat tidur Parno. Sudah seminggu Parno meninggalkan kerjanya hanya terbaring tengkurap di kasur kapuk yang mengisut. Seminggu pula cacing dan usus Parno berontak mendemo meminta dinafkahi dengan segera. Tuntutan itu pun tak lagi digubris. Parno sedang menenggelamkan dirinya dalam kawah imajinasinya yang terserak bersama kekasihnya di desa. Matanya layu mengkerut menarik garis pelupuk yang kosong tanpa apa-apa.
Tergantung melekat bayang-bayang ketika masih berjalan di pematang untuk sekedar mencari bunga ilalang dan menyelipkan di dahan Parti yang manis. Mereka berdua sengaja mencari gubuk beratap jerami untuk bercerita dan berkeluh kesah atau sekedar basa-basi menghabisi hari yang nyenyat mereka di pinggiran desa yang dekat dengan embun dan kabut pegunungan.
” Mas Parno, aku ada dimana?” ujar Parti berseloroh ketika mereka berdua membuang pandangannya ke tengah hamparan sawah yang kemratak menguning. Sebentar lagi akan panen raya.” Ya jelas ada di hatiku dong dik” Parno menjawab genit sambil merangkul dan memaksakan kepala Parti untuk bertengger di pundak Parno yang berbungkus kaos putih coklat keabu-abuan karena kumal.Sekelumit kata basa-basi bawah alam sadar dari rasa cinta yang sedang bermekaran terus menghantui siang dan malam Parno. Sehingga rembulan pun tak lagi menjadi penghias malam Parno.
Semenjak seminggu yang lalu di menerima surat dengan amplop warna coklat itu. Kenangan manis di Banarejo benar menghantarnya terdampar pada kota yang kerasnya melebihi batu kali yang biasa di menambangnya dan memecahnya menjadi kricak untuk di jual pada Pak Haji Maun. Kota yang bersarang kabut hitam menyesatkan dan menyesakkan. Terlebih lagi kini dia memenjarakan dirinya di sebuah kamar empat kali dua meter. Kamar yang berhiaskan ornamen batu bata menonjol keluar dari kekangan semen dan cat tembok. Dengan segala uraian kata-kata sumpah serapah yang tak lagi dapat di verbalkan dengan lidahnya yang terlalu dipaksa untuk berlemah lembut dan menerima. Merelakan segalanya, sesuai dengan nasehat ayah dan ibunya ketika mereka berdua masih hidup. Terlalu keras pergeseran perubahan tatanan hidup ya g tengah terjadi di desanya yang jelas memporakporandakan konstruksi pemikiran polosnya yang sedang liar-liarnya untuk sekedar menikmati hidangan keindahan Tuhan dari Parti yang manis.
Dari tangan anaknya yang memegang kertas yang kisut dan tangan kirinya yang terurai lunglai menjulur ke lantai. Bibirnya pun mengering biru tak berapi dan basah. Ladang pesta pora bagi nyamuk kesiangan dan lalat-lalat yang iseng dengan menggodanya untuk sekedar memuaskan para lalat muda yang sedang merasakan masa puber mereka. Namun di sekitar kos-kosannya yang di huni manusia dari berbagai latar belakang dan alasan mereka, yang semakin hari semakin tak masuk di akal. Dan seperti biasanya mereka pun tak memperdulikan bagaimana tidak pernah bergemeretaknya suara engsel pintu kamar Parno selama seminggu ini. Bagi mereka hari ini dan yang lalu dan mungkin ke depannya hanya tinggal menunda kematian saja. Karena semua tidak ada apa-apa di awal permulaan mereka menerjunkan dalam arus dunia ataupun ketika mereka mencoba menghindar dari dinamika yang tak lagi dapat diramal.
@@@
Tak ada yang bisa memastikan dari sebuah kepastian. Sudah kukirimkan beberapa lembar puisi untuk segera menggugah hatimu yang semakin lama berlari menjauh sadari dirimu yang kukenal. Kang, semenjak kau mengikuti lik dalmin uintuk menyukseskan partainya di pesta negara yang katanya dapat merubah nasib seluruh penduduk desa itu, aku terheyak kaget, dan semakin hari kurasa kau akan segera meninggalkan aku. Ternyata perasaan yang kucoba tertepis oleh rasa cintaku yang kurasa semakin tak dapat lagi menggambarkan masa depan kita kelak bila semua cinta ini telah melebur lahir dalam prajurit kita. Kang…kang….seandainya….! tapi sudahlah kiranya segera setelah mendung itu pastilah akan segera cerah kembali seiring bergantinya musim. Ada pertemuan ada perpisahan begitu indahnya dunia mengalir berimbang untuk sekedar memberi pengajaran pada para manusia yang selalu saja luap. Maaf bila dari bibir Parti ini terucap kata-kata yang terkesan menggurui, padahal Parti sendiri belum pernah mengenyam pendidikan tinggi seperti kang Parno. Kang maaf sekali lagi dengan segala cinta yang kusimpan Parti ingin meminta keikhlasan kang Parno untuk merelakan Parti di arungkan layar Parti di negeri orang. Saya yakin dengan segala kepintaran dan kemasyhuran kang Parno akan segera cepat menemukan bidadari yang lebih dari parti dalam segala hal. Biar Parti hidup dengan ketidak tahuan ini. Maaf.
Wassalam
Burung Gerejamu
Parti
Dan kembali Parno menangis tak berair mata. Dengan tangan gemas meringkas kertas yang semakin kumal Parno histeris berteriak tak karuan. Dia sobek-sobek kertas ditu hingga tak berbentuk lagi. Dan akhirnya dia terhuyung lemas, akhirnya tersungkur ke lantai dan terkapar diantara pecahnya kamar dan hancurnya segala yang telah tertata rapi, seperti hancurnya bayang masa depan Parno yang telah di coba susun dengan bayangan dan harapannya untuk bisa membawakan rangkai bunga mahal, tidak lagi bunga ilalang, tentunya untuk Parti tersayang. Karena menurut lik Dalmin jika partai yang di perjuangkan ini bisa memenangkan suaranya di pemilihan gubernur tahun ini, maka akan dengan segera karir Parno di promosikan untuk bisa segera memakai jas dan sepatu pantopel yang klimis oleh semiran.
Embun yang menguap perlahan bersama dengan kemunculan mentari pagi setelah semalaman hujan dan angin lebat mencandai penduduk kota. Dan bersama itu sekeping harapan manusia menguap menjadi hujan yang membawa bencana kematian dan kesedihan berurai air mata.
@@@
Koran pagi dan berita di televisi memberitakan, bahwa tadi malam penyebab bencana angin dan hujan lebat yang membawa bencana hancurnya bangunan kota, telah tertangkap. Pelakunya tak lain adalah seperti yang menjadi buah bibir para penduduk setelah bencana malam itu terjadi. Nampak di layar televisi seorang pemuda yang di borgol polisi sedang di naikkan ke atas mobil polisi. Pemuda tersebut yang di ketahui identitasnya dengan nama Parno, di temukan di sebuah lokalisasi pinggiran kota dalam keadaan mabuk berat. Nampak pemuda itu berjalan sempoyongan dengan tatapan mata kosong berhias senyuman misterius melambaikan pada langit bersamaan dengan mobil polisi yang berjalan. Menurut keterangan Kapolda kota tersebut pemuda itulah menjadi tersangka utama terjadinya badai angin besar semalam sehingga harus diamankan, begitu menurut keterangan yang dihimpun oleh media cetak dan elektronik kota.

Semarang, 16 mei 2008

Tidak ada komentar: